Jumat, 19 Juni 2015

Analisis Random Amplified Polymorfic DNA pada tujuh aksesi jarak pagar (Jatropha curcus) lokal

Analisis Random Amplified Polymorfic DNA pada tujuh aksesi jarak pagar (Jatropha curcus) lokal

Analisis karakter tanaman secara molekuler dapat membantu kegiatan pemuliaan tanaman. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi hasil analisis Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD) pada tujuh aksesi jarak pagar ( Jatropha curcus) lokal. penelitian dilaksanakan di Laboratorium molekuler, Pusat Pengembangan Bioteknologi, Universitas Muhammadiyah Malang, menggunakan 7 aksesi Jatropha curcus: HS 49, SP 16, SP 38,SP 8, SM 33,SP 34,SM 35 dengan 5 jenis primer: OPA 2,OPA 9, OPA 13,OPA 18 dan OPA 20. Hasil analisis menunjukkan jumlah pita DNA yang dihasilkan pada masing-masing primer bervariasi antara 39 pita, paling banyak diperoleh dari primer OPA 18 (54 pita), sedangkan yang paling sedikit diperoleh dari primer OPA 20 (21 pita). Ukuran alel terpanjang dideteksi pada primer OPA 9 (1,078 bp) dan terpendek yaitu 118 bp dideteksi pada primer OPA 9 dan OPA 18. Nilai koefisien kekerabatan berkisar antara 75-97%. Aksesi SM 33 dan SP 34 memiliki tingkat kemiripan genetik paling tinggi (97%). sedangkan aksesi HS 49 dan SP 8 menunjukkan kemiripan genetik 91%. Kelompok aksesi SM 33 dan SP 34 memiliki kemiripan genetik dengan nilai koefisien 88% dengan kelompok aksesi HS 49 dan SP 8, serta antara SP 16 dan SM 35.

Peneliti : Maftuchah, Agus Zainudin. 


Keragaman genetik kerang darah (Anadara granosa)di perairan pesisir utara Jawa bagian barat berdasarkan analisa DNA mitokondria gen COI

Keragaman genetik kerang darah (Anadara granosa)di perairan pesisir utara Jawa bagian barat berdasarkan analisa DNA mitokondria gen COI


Perairan intertidal merupakan perairan yang dinamis dan fluktuatif, sehingga organisme yang hidup di wilayah tersebut perlu mengembangkan daya adaptasi yang tinggi untuk dapat hidup di lingkungan lokal. Perbedaan karakteristik perairan mendorong organisme yang berasal dari satu spesies mengembangkan strategi adaptasi yang berbeda dan menyebabkan keragaman fenotipik dan genotipik organisme tersebut. Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu oganisme intertidal yang memiliki daya adaptasi tinggi dan dapat hidup pada rentang lokasi geografis yang lebar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman genetik kerang darah pada beberapa lokasi geografis yang berbeda berdasarkan marka molekuler gen COI dengan metode PCR-RFLP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keragaman genetik tertinggi ditemukan pada kerang darah dari perairan teluk Lada, Pendagelang diikuti oleh keragaman genetik di perairan Cirebon dan teluk banten. Tingkat keragaman genetik tersebut berkorelasi dengan karakteristik perairan dan tekanan penangkapan.

Peneliti : Lalu panji Imam, Kadarwan Suwardi, Nurlisa Alias Butet.  

Kamis, 18 Juni 2015

Karakterisasi gen ketahanan terhadap suhu tinggi HSP70 pada anggrek Vanda tricolor var. suavis forma merapi

Karakterisasi gen ketahanan terhadap suhu tinggi HSP70 pada anggrek Vanda tricolor var. suavis forma merapi


Vanda tricolor Lind.var.suavis forma merapi merupakan anggrek alam indonesia yang banyak tumbuh di lereng gunung merapi dan menjadi maskot propinsi D.I Yogyaktarta. Kemampuan V.tricolor untuk bertahan hidup di lereng gunung merapi yang sering dilanda awan panas (pyrroclastic flows) akibat sering terjadinya letusan gunung merapi yang sangat aktif tersebut, menunjukkan adanya ketahanan terhadap suhu tinggi, yang kemungkinan besar disebabkan oleh peran Heat shock protein (HSP) sebagai molekul chaperon. Penelitian ini bertujuan HSP70 pada V.tricolor var. suavis forma merapi. Metode penelitian dilakukan dengan mengisolasi HSP70 cDNA dari pustaka cDNA daun V.tricolor forma merapi berumur 2 tahun menggunakan 2 set degenate primers HSP70F1R1 dan HSP70F2R2, menghasilkan HSP70cDNA sekitar 600bp. Basic local alignment search tool (BLAST) dan BioEdit pohon filogenetik dianalisis dengan software online MOTIF search (http://www.genome.jp/tools/motif). Hasil penelitian menunjukkan teramplifikasi HSP70cDNA dengan primer HSP70F1R1 dan HSP70F2R2, masing-masing dengan panjang 600 bp dan 680 bp. Allignment sekuen cDNA hasil PCR menghasil 1212 bp cDNA. Analisis filogenetik berdasarkan sekuen asama amino HSP70 cDNA menunjukkan adanya kemiripan dengan HSP70 organisme lain sebesar 82-85% diantaranya dengan tanaman Zea mays (82%), Deandrobium officinale (84%), Arabidopsis lyrata (84%) dan Malus domesticus (85%). Pada HSP70 V.tricolor terdapat domain yang converse untuk semua jenis HSP yaitu nucleutide binding site sugar-kinase HSP70 actin superfamily pada asam amino urutan 1-400, Pox Ag35 superfamily pada asam amino urutan 750-110, serta NAD-GH pada asam amino 250-800. Ketiga domain ini HSP70 V.tricolor pada asam amino 96-110 memiliki urutan sekuen dengan pola spesifik HSP70, yaitu (LIVMY)-x-(LIVMF)-x-G-G-x-(ST)-(LS)-(LIVM)-P-x-(LIVM)-x-(DEQKRSTA). Analisis filogeni yang dilakukan dengan membandingkan protein HSP70 V.tricolor dengan protein HSP70 organisme lain menunjukkan bahwa V.tricolor memiliki asam amino spesifik yang menjadi penciri protein HSP70 v.tricolor, sehingga mampu bertahan di habitat dengan suhu tinggi. 

Peniliti : Endang Semiarti, Rozikin


Rabu, 17 Juni 2015

Deteksi Polimorfisme gen growth hormone (GH) pada sapi Sumba Ongole (SO)

Deteksi Polimorfisme gen growth hormone (GH) pada sapi Sumba Ongole (SO)

Peran penting gen growth hormone (GH) dalam proses pengaturan pertumbuhan menjadi salah satu alasan gen tersebut digunakan sebagai kandidat penciri genetik dalam seleksi berbasis penciri genetik atau dikenal sebagai marker assisted selection (MAS) pada sapi. Keunggulan sapi Sumba Ongole (SO) (Bos indicus) pada sifat pertumbuhan dan produksi karkas merupakan potensi yang perlu digali lebih lanjut melalui teknologi molekuler dengan harapan dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bangsa sapi potong lokal unggul. Penelitian merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mendeteksi adanya polimorfisme gen GH pada sapi SO. Sebanyak 65 ekor sapi SO digunakan untuk penelitian ini. Polimorfisme gen GH target dideteksi menggubnakan metode polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR_RFLP) dan dilanjutkan dengan analisis sekuensing. Gen GH target sepanjang 1072 pasang basa (pb) diamplifikasi menggunakan sepasang primer yang didesain berdasarkan sekuen dari Genbank nomor akses EF592534 pada suhu optimum annealing 57C. Deoxyribonucleic acid (DNA) hasil amplifikasi selanjutnya dipotong menggunakan enzim restriksi Mspl dan hasilnya divisualisasi menggunakan gel elektroforesis. Hasil analisis PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme pada gen GH target dari DNA sapi SO dengan munculnya 3 varian pola pita. Berdasarkan hasil alignment sekuen gen GH target pada sampel DNA sapi SO dengan sekuen dari Genbank (nomor akses EF592534), terdapat sampel yang diketahui mengalami mutasi di daerah intron 3 dan intron 4. Mutasi di intron 3 berupa subtitusi nukleutida Thymine (T) dengan Cytosine (C) di titik 1047 bp, sedangkan mutasi di intron 4 berupa insersi nuklutida C diantara titik 1395 bp dan 1396 bp. Hasil penelitian ini menjadi dasar untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar dan analisis kemungkinan digunakannya gen GH sebagai penciri genetik untuk sifat pertumbuhan dan karkas pada sapi SO.

Peniliti : Saiful Anwar, Paskah Partogi Agung, Ari Sulistyo Wulandari, Baharuddin Tappa

 

Selasa, 16 Juni 2015

Keragaman gen B-Laktoglobulin kambing perankan Etawa (PE) di Jawa Tengah

Keragaman gen B-Laktoglobulin kambing perankan Etawa (PE) di Jawa Tengah

Kambing Peranakan Etawa (PE) (Capra aegagrus hircus) merupakan salah satu ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daging maupun susu. Protein susu kambing PE meliputi kasein dan whey, dimana komponen utama whey adalah B-Laktoglobulin, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik B-Laktoglobulin pada 76 ekor kambing PE dari Jawa Tengah. Genotyping menggunakan metode polymerase chain reaction-restriction fragment length Polymorphims (PCR-RFLP) dengan enzim restriksi CFr421. Frekuensi genotip dan frekuensi alel dihitung menggunakan metode NEi. Keseimbangan Hardy-Weimberg dihitung menggunakan Uji Chi Quadrat. Genotyping gen B-Laktoglobulin pada kambing PE pengamatan bersifat polimorfik yang menghasilkan dua tipe alel (A dan B); B diperoleh sebesar 0,70 dan 0,30; sedangkan frekuensi genotip AA, AB dan BB berurutan 0,42; 0,57; 0,01. Gen B-Laktoglobulin kambing PE pengamatan tidak berada keseimbangan Hardy Weimberg.

Peneliti : Burhansyah, Artini Pangastuti, Noor Handajani, Sutarno.

Senin, 15 Juni 2015

Biodiversitas Gastropoda Epifauna di Kawasan Mangrove Perairan Bontolebang Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan

ABSTRAK

        Penelitian tentang Biodiversitas Gastropoda epifauna di daerah Mangrove Perairan Gusung, Desa Bontolebang,  Kec.Bontoharu, Kab. Kep. Selayar, Sulawesi Selatan, telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis gastropoda Epifauna di Perairan Bontolebang. Pengamatan dilakukan pada 6 stasiun yang terdiri dari 6 ulangan. Pengambilan sampel gastropoda dilakukan dengan plot menggunakan plot berukuran 2 x 2 m. Masing-masing titik sampling berjarak 10 m. Pada setiap titik sampling dilakukan 1 kali pengambilan sampel gastropoda secara acak sistematis. Analisis indeks ekologi meliputi: keanekaragaman jenis, keseragaman, dominansi dan pola penyebaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 5 jenis gastropoda yang tergolong dalam 3 suku. Spesies gastropoda didominasi oleh Littorina scabra dengan kepadatan 325 ind/m2. Hasil analisis data menunjukkan indeks keanekaragaman tergolong rendah di tiap-tiap stasiun, berkisar antara 0,02-0,12. Nilai indeks ekologi menunjukkan  kestabilan komunitas di perairan Bontolebang tergolong rendah dengan kondisi perairan terganggu.

Kata kunci : Biodiversitas Gastropoda Epifauna, Kawasan Mengrove, Perairan Bontolebang.

 

PENDAHULUAN

         Perairan Indonesia dikenal kaya akan sumberdaya hayati laut yang beraneka ragam seperti alga, lamun dan mangrove. Laut seperti halnya dengan daratan yang dapat dihuni oleh makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Tingginya keanekaragaman makhluk hidup, tidak kurang dari 833 jenis tumbuh-tumbuhan laut (alga, lamun dan mangrove), 910 jenis karang (Coelenterata), 850 sponge (Porifera), 2500 kerang dan keong (Moluska), 1502 jenis udang dan kepiting (Crustacea), 745 jenis hewan berkulit duri (Echinodermata), 2000 jenis ikan (Pisces), 148 jenis burung laut (Aves) dan 30 jenis hewan menyusui laut (mamalia) diketahui hidup di Laut (Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan, 2005).   Berbagai jenis hewan hidupnya tergantung pada ekosistem mangrove, baik itu langsung maupun tak langsung. Ada hewan yang tinggal menetap adapula yang sementara. Sebagian besar wilayah mangrove di desa Bontolebang ini telah dikonversi menjadi kawasan tambak sehingga secara langsung akan mempengaruhi komposisi dan kelimpahan makrozoobenthos, khususnya gastropoda. Organisme ini dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas buruk. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang sudah terkontaminasi bahan organik. Oleh karena itu, keberadaan organisme tersebut sangat penting dalam ekosistem mangrove karena dapat berfungsi sebagai indikator kestabilan lingkungan utamanya daerah perairan.
     Gastropoda merupakan kelompok hewan yang paling kaya akan jenis. Beberapa spesies gastropoda dikenal memiliki daging yang lezat dan bernilai ekonomi tinggi, seperti: Abalone Chalyotis sp, Bekicot Achatina fulica, dan laim-lain . Selain dagingnya yang lezat, bentuk, tekstur dan warna cangkang yang indah dari gastropoda menjadi daya tarik sendiri untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan atau souvenir. Namun, beberapa jenis gastropoda seperti Triton Charonia tritonis , Kepala kambing Cassis cornuta ,dll. Spesies ini sudah jarang ditemukan sehingga populasinya kini dilindungi oleh Undang-Undang (PP No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan hewan dan tumbuhan) (Rahmawati, 2005). 

METODE PENELITIAN

       Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plot berukuran 2 x 2 m, kertas bawah air, kamera bawah air, Global Positioning System (GPS), pinset, fins, bootish, termometer, nampan, Refraktometer, kertas lakmus, rol meter, gunting, spidol, tali nilon, isolasi, pensil dan buku identifikasi gastropoda. 
        Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel gastropoda, alkohol 70%, kertas label, plastik sampel, tisu gulung dan substrat/sedimen dari hutan bakau.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis dengan menggunakan plot ukuran 2 x 2 m. Sampel diambil secara acak dengan mengambil gastropoda yang berada diatas permukaan air tepatnya yang menempel di perakaran mangrove. Sampel yang sudah diambil dimasukkan kedalam kantong sampel yang telah diberi kertas label. Lalu sampel diawetkan menggunakan alkohol 70 % dan formalin 4 %. Kemudian sampel difoto untuk didokumentasikan dan selanjutnya  dibawa ke Laboratorium untuk identifikasi lebih lanjut .

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Jenis

        Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian, diperoleh jumlah total gastropoda sebanyak 348 individu yang terdiri dari 5 jenis, dimana spesies gastropoda didominasi oleh jenis  Littorina scabra.

B. Kepadatan Mutlak dan Kepadatan Relatif

         kepadatan mutlak spesies gastropoda di stasiun I adalah  18,8  ind/m2 dan di stasiun II berkisar antara 0,8 – 12,0 ind/m2, pada stasiun III berkisar antara 0,5 – 9,0 ind/m2, pada stasiun IV berkisar antara 0,5 – 15,3 ind/m2, pada stasiun V berkisar antara 0,5 – 7,5 ind/m2, sedangkan pada stasiun VI berkisar antara 0,3 – 18,8 ind/m2. Kepadatan tertinggi ditemukan pada spesies  Littorina scabra berkisar 7,5-18,8 ind/m2 dan terendah pada spesies Orania mixta  yaitu  0,5 ind/m2, 
         Kepadatan relatif spesies gastropoda di stasiun1  berkisar 0 – 25,0%. Pada stasiun I yaitu 25,0%  dan di stasiun II berkisar antara 1 – 16,0%, pada stasiun III berkisar antara 0,67 – 12,0%, pada stasiun IV berkisar antara 0,67 – 20,33%, pada stasiun V berkisar antara 0,67 – 10,0%, sedangkan  pada stasiun VI berkisar antara 0,33 – 25,0%.. Kepadatan tertinggi diperoleh spesies  Littorina scabra yaitu berkisar 25% dan kepadatan terendah diperoleh Orania mixta sekitar 0,67%. 

C. Indeks Keanekaragaman (H’) 

        Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa keanekaragaman jenis gastropoda pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,11 – 0,2 dimana terendah 0,11 berada di stasiun 3 dan tertinggi 0,2 di stasiun 5 (Tabel 4). Menurut Brower et al., (1990) seluruh nilai yang terhitung memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 2 (H < 2). Kondisi ini menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah yang berarti kestabilan komunitas rendah dan keadaan perairan telah terganggu.

D. Indeks Keseragaman (E)

   Analisis data gastropoda dari masing-masing stasiun menunjukkan, bahwa nilai indeks keseragaman yang diperoleh berkisar antara 0,06 – 0.12 dimana terendah 0,06 berada di stasiun 1 dan tertinggi 0,12 di stasiun 4  (Tabel 4). Berdasarkan kriteria menurut Krebs (1985), indeks keseragaman dari komunitas gastropoda yang ada di padang mangrove tersebut tergolong dalam kategori tertekan . Odum (1993) menyatakan bahwa nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 3. Nilai indeks ini menunjukkan penyebaran individu, apabila indeks tersebut 0,75 < E < 3, maka kondisi ekosistem relatif stabil karena jumlah individu tiap spesies yang hidup di daerah tersebut relatif sama. Apabila indeks keseragaman 0,5 < E < 0,75 , maka organisme pada komunitas tersebut menunjukkan keseragaman tidak stabil, sedangkan bila indeks keseragaman mendekati nol ( 0 < E < 0,5 ) maka organisme pada komunitas tersebut tidak tertekan.   

E. Indeks Dominansi (C)

    Berdasarkan hasil analisis data terhadap gastropoda yang disampling pada masing stasiun penelitian, diperoleh nilai indeks dominansi berkisar antara 0 – 1 (Tabel 5). Nilai indeks ini termasuk kategori rendah sampai tinggi, dimana dominansi terendah terdapat pada stasiun V yaitu sekitar 0,62 sedangkan tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sekitar 1. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat stasiun pengamatan yang tidak mengalami dominansi jenis gastropoda tertentu, namun terdapat pula stasiun yang didominansi satu atau beberapa jenis tertentu.

F. Pola Penyebaran (Id)

     Berdasarkan hasil perhitungan pola sebaran didapatkan pola sebaran individu yang seragam hampir semua jenis gastropoda, Orania mixta pola sebarannya mengelompok, sedangkan jenis Nerita undata pola sebarannya acak . Pola sebaran mengelompok ini menurut Odum (1993) terjadi karena terjadinya persaingan individu sehingga mendorong pembagian ruang secara mengelompok. Berdasarkan kriteria Brower et al, (1998), jika nilai Indeks penyebaran kurang dari  satu (Id < 1) maka pola penyebaran yang terbentuk adalah pola penyebaran seragam, jika nilai indeks penyebaran sama dengan satu (Id = 1), maka pola penyebaran yang terbentuk adalah acak, sedangkan jika nilai indeks penyebaran lebih dari satu (Id > 1), maka pola penyebaran yang terbentuk adalah mengelompok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola penyebaran gastropoda secara umum di daerah mangrove pantai gusung desa Bontolebang  cenderung seragam.

Kesimpulan

       Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa di mangrove  perairan Desa Bontolebang ditemukan 5 jenis gastropoda yang terdiri 3 famili. Spesies gastropoda didominasi oleh Littorina scabra. Indeks keanekaragaman jenis pada indeks biologi tergolong rendah masing-masing stasiun berkisar antara 0 – 0,35. Sehingga kawasan mangrove pantai Bontolebang bisa disimpulkan terganggu.






 





Sabtu, 18 April 2015

Taksonomi

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang cukup banyak, baik flora maupun fauna. Kita boleh berbangga dengan kekayaan tumbuhan yang tidak dimiliki negara lain.  Akan tetapi lebih kurang 30.000 sampai 40.000 jenis tumbuhan yang tersebar dari Aceh sampai Papua, dari daratan rendah hingga dataran  tinggi   dari  daerah  tropik  hingga  daerah  sejuk, jenis-jenis  pohon  di Indonesia sangat banyak. Oleh Endert, seorang pakar tumbuh-tumbuhan Belanda  yang  pernah  bekerja  di  Indonesia  ditaksir  ada  kira-kira  4.000  jenis pohon  dan  dari  4.000  jenis  ini  belumlah  kita  kenal  semua  baik  namanya maupun sifatnya.

Beragamnya  mahkluk hidup  yang  ada  di bumi ini  yang  ditunjukkan dengan adanya variasi bentuk, penampilan serta ciri-ciri yang lainnya, maka mendorong diperlukannya suatu cara untuk mengelompokkan mahkluk hidup agar mudah dipelajari dan dipahami. Para ilmuwan dari bidang biologi mengembangkan suatu sistem pengelompokan yang memudahkan untuk memahami, mempelajari, dan mengenali mahkluk hidup dengan suatu sistem klasifikasi.  Cabang  ilmu  biologi  yang  mempelajari  klasifikasi  suatu  mahkluk hidup disebut dengan taksonomi atau sistematik. Bergantung pada golongan makhluk hidup yang dijadikan obyek studi, apabila yang merupakan obyek studinya adalah tumbuhan maka istilah yang digunakan adalah Taksonomi atau Sistematik Tumbuhan, begitu juga berlaku pada obyek studi hewan.

Unsur utama yang menjadi ruang lingkup Taksonomi Tumbuhan adalah pengenalan (identifikasi), pemberian nama dan penggolongan atau klasifikasi. Kata taksonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani Taxis yang artinya susunan (arrangement) dan nomos artinya aturan (hukum), taksonomi merupakan susunan berdasarkan aturan tertentu. Menurut Lawrence dalam bukunya Taxonomy of Vascular Plants definisi dari taksonomi dengan perumusan yang lebih   sederhana,

Rabu, 15 April 2015

Pengantar Sistematika Tumbuhan Tingkat Rendah

Pengantar Sistematika Tumbuhan Tingkat Rendah

 1. PENDAHULUAN 

 Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang cukup banyak, baik flora maupun fauna. Kita boleh berbangga dengan kekayaan tumbuhan yang tidak dimiliki negara lain. Akan tetapi lebih kurang 30.000 sampai 40.000 jenis tumbuhan yang tersebar dari Aceh sampai Papua, dari daratan rendah hingga dataran tinggi dari daerah tropik hingga daerah sejuk, jenis-jenis pohon di Indonesia sangat banyak. Oleh Endert, seorang pakar tumbuh-tumbuhan Belanda yang pernah bekerja di Indonesia ditaksir ada kira-kira 4.000 jenis pohon dan dari 4.000 jenis ini belumlah kita kenal semua baik namanya maupun sifatnya. Beragamnya mahkluk hidup yang ada di bumi ini yang ditunjukkan dengan adanya variasi bentuk, penampilan serta ciri-ciri yang lainnya, maka mendorong diperlukannya suatu cara untuk mengelompokkan mahkluk hidup agar mudah dipelajari dan dipahami. Para ilmuwan dari bidang biologi mengembangkan suatu sistem pengelompokan yang memudahkan untuk memahami, mempelajari, dan mengenali mahkluk hidup dengan suatu sistem klasifikasi. Cabang ilmu biologi yang mempelajari klasifikasi suatu mahkluk hidup disebut dengan taksonomi atau sistematik. Bergantung pada golongan makhluk hidup yang dijadikan obyek studi, apabila yang merupakan obyek studinya adalah tumbuhan maka istilah yang digunakan adalah Taksonomi atau Sistematik Tumbuhan, begitu juga berlaku pada obyek studi hewan. Unsur utama yang menjadi ruang lingkup Taksonomi Tumbuhan adalah pengenalan (identifikasi), pemberian nama dan penggolongan atau klasifikasi. Kata taksonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani Taxis yang artinya susunan (arrangement) dan nomos artinya aturan (hukum), taksonomi merupakan susunan berdasarkan aturan tertentu. Menurut Lawrence dalam bukunya Taxonomy of Vascular Plants definisi dari taksonomi dengan perumusan yang lebih sederhana, taksonomi adalah ilmu pengetahuan yang mencakup identifikasi, tatanama, dan klasifikasi pada obyek biologi yang bila dibatasi pada tumbuhan saja sering disebut dengan taksonomi tumbuhan. 
 2. KONSEP TAKSONOMI
 Mengenai unsur utama yang tercakup dalam lingkup taksonomi tumbuhan seperti identifikasi, tatanama, dan klasifikasi serta konsep-konsep dasar mengenai taksonomi tumbuhan diuraikan sebagai berikut :

 a. Identifikasi

-  Selain mengadakan penggolongan atau klasifikasi, unsur utama dalam taksonomi salah satunya adalah pengenalan atau identifikasi. Melakukan identifikasi tumbuhan  berarti  mengungkapkan  atau  menetapkan identitas (jati diri) suatu tumbuhan (meliputi : menentukan nama yang benar, tempat yang tepat dalam sistem klasifikasi)
  Identifikasi tumbuhan  adalah  menentukan  namanya yang  benar  dan tempatnya yang tepat dalam sistem klasifikasi.
-   Tumbuhan yang akan diidentifikasikan mungkin belum dikenal oleh dunia
ilmu pengetahuan (belum ada nama ilmiahnya), atau mungkin sudah dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan.
-    Penentuan  nama  baru  dan  penentuan  tingkat-tingkat  takson  harus mengikuti aturan  yang  ada dalam KITT (Kode  Internasional  Tatanama Tumbuhan).
-    Prosedur    identifikasi    tumbuhan    yang    untuk    pertama    kali    akan diperkenalkan  ke  dunia  ilmiah  memerlukan  bekal  ilmu  pengetahuan yang mendalam tentang isi KITT.
-    Untu identifikas tumbuhan   yan telah   dikenal   ole duni ilmu pengetahuan, memerlukan sarana antara lain bantuan orang, spesimen herbarium, buku-buku flora dan monografi, kunci identifikasi dan lembar identifikasi jenis.

b.  Tatanama

Ø  Peraturan tentang pemberian nama ilmiah perlu diciptakan agar ada kesamaan  pemahaman  di  antara  ahli-ahlBotani  di  seluruh  dunia tentang apa yang dimaksud.
Ø  Nama ilmiah adalah nama-nama dalam bahasa Latin atau bahasa yang diperlakukan sebagai bahasa Latin tanpa memperhatikan dari bahasa mana asalnya.
Ø  Tujuan dari tatanama tumbuhan adalah sebagai berikut :
       a. Sebagai media untuk komunikasi
       b. Menunjukkan identitas tumbuhan
       c.  Menunjukkan adanya kekerabatan
Ø  Sistem pemberian nama
      Ada 2 sistem dalam taksonomi untuk sistem pemberian nama anatara lain :
1.  Nama daerah/nama lokal/nama umum
Pada awalnya nama suatu tumbuhan menggunakan bahasa induk orang yang member nama, dengan demikian satu jenis tumbuhan dapat mempunyai nama yang berbeda-beda sesuai dengan bahasa orang yang memberikannya. Misal  :  orang  Indonesia  menyebut  pisang, orang  Inggris  menyebut banana,   oran Jaw Timu menyebu gedang,  oran Sunda menyebut cauk.
Nama daerah atau nama lokal ini dasar pemberian nama berbeda- beda  dan  mempunyai  sifat  khusus,  bersifat  tidak  universal  artinya tanpa metode penamaan dan penggunaannya sangat terbatas. Beragamnya sebutan atau bahasa untuk satu jenis tumbuhan dalam taksonomi   dikategorikan   nama   nama   daerah/nama   lokal/nama umum.

2.  Nama ilmiah
      Berkembangnya ilmu taksonomi tumbuhan, maka muncul nama ilmiah (scientific name). Dimana sistem pemberian nama ilmiah ini bersifat netral dan dapat diterima semua pihak, dimana setiap jenis memiliki nama ilmiah dan bahasa ilmiah yang dilatinkan sehingga dapat diterima dan digunakan oleh seluruh ilmu taksonomi di seluruh dunia. Sehingga dapat disimpulkan perbedaan nama umum dengan nama ilmiah .


Ø   Sistem Penamaan Binomial

Tatanama binomial (binomial = dua nama) merupakan aturan penamaan baku bagi semua organisme (makhluk hidup) yang terdiri dari dua kata dari sistem taksonomi (biologi), dengan mengambil nama genus dan nama spesies. Nama yang dipakai adalah nama baku yang diberikan dalam bahasa Latin atau bahasa lain yang dilatinkan. Oleh penyusunnya yaitu Carolus Linnaeus aturan ini pada awalnya diterapkan untuk fungi, tumbuhan dan hewan, namun kemudian dikembangkan dan diterapkan juga untuk  bakteri.  Sebutan yang disepakati untuk nama ini adalah 'nama ilmiah' (scientific name). Nama ilmiah seringkali disebut sebagai "nama latin" meskipun istilah ini tidak tepat sepenuhnya, karena sebagian besar nama yang diberikan bukan istilah asli dalam bahasa latin melainkan  nama  yang  diberikan  oleh  orang  yang  pertama  kalmemberi deskripsi (deskriptor) kemudian dilatinkan.
Ø   Aturan Penulisan

a) Aturan penulisan dalam tatanama binomial selalu menempatkan nama

genus di awal dan nama spesies mengikutinya.

b) Nam genus   SELALU  diawal denga huru kapita (huruf   besar, uppercase) dan nama spesies SELALU diawali dengan huruf biasa (huruf kecil, lowercase).
c) Penulisan nama ini tidak mengikuti tipografi yang menyertainya, artinya: suatu teks yang semuanya menggunakan huruf kapital/balok, misalnya pada judul suatu naskah, tidak menjadikan penulisan nama ilmiah menjadi huruf kapital semua) kecuali untuk hal berikut:
·   Pada  teks  dengan  huruf  tegak  (huruf  latin),  nama  ilmiah  ditulis dengan  huruf  miring  (huruf  italik),  dan  sebaliknya.  Contoh  : Cyprinus carpio, Marsilea crenata
·   Pada teks tulisan tangan, nama ilmiah diberi garis bawah yang terpisah untuk nama genus dan nama spesies.
d) Namlengkap  (untuk  hewan)  atau  singkatan  (untuk  tumbuhan)  dari deskriptor boleh diberikan di belakang nama spesies, dan ditulis dengan huruf  tegak  (latin)  atau  tanpa  garis  bawah  (jika  tulisan  tangan).  Jika suatu spesies digolongkan dalam genus yang berbeda dari yang berlaku sekarang, nama deskriptor ditulis dalam tanda kurung. Contoh : Glycine max Merr., Passer domesticus (Linnaeus, 1978) (Merr. adalah singkatan dari deskriptor (dalam contoh ini E.D. Merrill) yang hasil karyanya diakui untuk menggambarkan Glycine max.
e) Pada penulisan teks yang menyertakan nama umum/trivial, nama ilmiah biasanya menyusul dan diletakkan dalam tanda kurung. Contoh : PENGUJIAN AKTIVITAS PROTEIN ANTIMIKROBIA DARI BIJI MELINJO (Gnetum gnemon L.) TERHADAP BEBERAPA MIKROBIA PATOGENIK TANAMAN.

f)  Nama  ilmiah  ditulis  lengkap  apabila  disebutkan  pertama  kali.
Penyebutan selanjutnya cukup dengan mengambil huruf awal nama genus dan  diberi titilalu nama spesies secara  lengkap. Contoh : salah satu penyebab penyakit penting pada tanaman cabai adalah Fusarium oxysporum, karena menyebabkan rendahnya produksi. Kehilangan produksi akibat 

F. oxysporum ini berkisar 5-30%

g) Singkatan "sp." (zoologi) atau "spec." (botani) digunakan jika nama spesies tidak dapat atau tidak perlu dijelaskan. Singkatan "spp." (zoologi dan botani) merupakan bentuk jamak. Contoh : Canis sp., berarti satu jenis dari genus Canis; Adiantum spp., berarti jenis-jenis Adiantum
Ø  Cara Pemberian Nama Kelas, Bangsa, Famili dan Spesies

Nama kelas : nama genus + nae; contoh : Psilophti + nae sehingga menjadi kelas Psilophtinae
Kelas : Psilophtinae; Ordo : Psilotales; Famili : Psilotaceae; Spesies :

Psilotum nudum

·    Nama ordo : nama genus + ales; contoh : Lycopodi + ales sehingga menjadi ordo Lycopodiales
Kelas : Lycopodiinae;  Ordo : Lycopodiales;  Famili : Lycopodineae; Spesies : Lycopodium cernum
·    Nama famili : nama genus + aceae; contoh : Marchantia + ceae

sehingga menjadi family Marchantiaceae

Kelas : Hepaticeae; Ordo : Marchantiales; Famili : Marchantiaceae; Spesies : Marchantia polymorpha
c.  Klasifikasi (Keanekaragaman dan Perkembangan Klasifikasi)

§    Klasifikasi  tumbuhan   adalah   pembentukan   kelompok-kelompo dari seluruh tumbuhan yang ada di bumi ini hingga dapat disusun takson- takson secara teratur mengikuti suatu hierarki. Sifat-sifat yang dijadikan dasar dalam mengadakan klasifikasi berbeda-beda tergantung orang yang mengadakan klasifikasi dan tujuan yang ingin dicapai dengan pengklasifikasian itu.
§    Ada  tiga  sistem  klasifikasi  dalam  taksonomi  tumbuhan  yaitu  sistem klasifikasi buatan, sistem klasifikasi alam, dan sistem klasifikasi filogenetik.
ü Sistem  klasifikasi  alami  :  dipelopori  oleh  Theophrastus  (370SM  -

285SM), salah satu murid Aristoteles. Sistem ini  didasarkan pada bentuk yang dapat dilihat dengan mata biasa (morfologi). Theophrastus menggolongkan tumbuhan menjadi 4 kelompok : pohon, semak, perdu dan herba.
ü Sistem klasifikasi buatan : diciptakan oleh Carolus Linnaeus (1707-

1778),  ilmuwan  swedia  yang  dikenal  sebagai  Bapak  Klasifikasi. Dasar yang digunakan adalah alat reproduksi seksual, dasar lain yang digunakan adalah morfologi. Sistem klasifikasi buatan ini merupakan      penggolongan      mahluk      hidup      berdasarkan
pengaruhny terhadap   manusia misalny  beracu atau berguna, piaraan atau liar, gulma atau sayuran.
ü Sistem klasifikasi filogenetik : diciptakan oleh Charles Darwin 1859, menerbitkan  buku  tentanteori evolusi. Ia menyatakan bahwa persamaan struktur tubuh menunjukkan hubungan kekerabatan yang  lebih  dekat.  Sistem  ini  didasarkan  pada  urutan perkembangan mahluk hidup (filogeni) serta mengetahui hubungan kekerabatan antara satu dengan yang lainnya.
§    Berdasarkan sejarah perkembangannya ketiga sistem klasifikasi tersebut dibagi menjadi empat periode yaitu periode sistem habitus, periode sistem numerik, periode sistem alam, dan periode sistem filogenetik.
§    Sistem klasifikasi yang tinjauannya didasarkan modifikasi dari sistem yang telah ada dengan penambahan data yang baru, disebut sistem kontemporer.
§    Pengelompokan  semua  organisme  hidup  oleh  Carl  von  Linne  (Latin: Carolus Linnaeus), seorang naturalis berkebangsaan Swedia dibuat tingkatan taksonomi yang terdiri dari enam takson, yaitu :
o Kingdom (kerajaan)
o Filum (divisi)
o Kelas (classis)
o Ordo (Bangsa),
o Familia (Suku),
o Genus (Marga), dan
o Spesies (Jenis)
§    Kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  akan  berpengaruh  pula

terhadap perkembangan ilmu taksonomi tumbuhan.

§    Perubahan klasifikasi organisme hidup yang semula dua dunia kemudian menjadi empat dunia, atau dari empat dunia menjadi lima dunia, telah mengakibatkan sekelompok atau sebagian kelompok organisme yang semula termasuk dalam dunia tumbuhan dipindahkan ke dalam dunia (regnum) baru atau regnum yang lain. Berikut beberapa sistem klasifikasi (sistem Klasifikasi Lima Kingdom):
ü  Sistem Dua Kingdom

Pada awalnya para ahli taksonomi mengklasifikasikan mahkluk hidup menjadi 2 kerajaan (sistem dua kingdom) yaitu Tumbuhan (Kingdom Plantae) dan Hewan (Kingdom Animalia), hal ini didasarkan pada :
a. Bahwa pada kenyataannya kelompok tumbuhan memiliki dinding sel yang tersusun dari selulosa,
b. Tumbuhan memiliki klorofil yang berfungsi untuk membuat makanan sendiri dengan melalui proses fotosintesis, dan tidak bisa bergerak dan berpindah tempat
c.  Hewan  tidak  memiliki  dinding  sel  sehingga  tidak  bisa  membuat

makanannya sendiri, dan bisa bergerak serta berpindah tempat.

ü  Sistem Tiga Kingdom

Sistem klasifikasi terus berkembang dengan ditemukannya bahwa ada tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga tidak bisa membuat makananny sendiri  yaitu   jamu (fungi) sehingg ole para   ahli taksonomi dikelompokkan tersendiri kedalam kingdom fungi. Pengelompokan mahkluk hidup menjadi tiga kelompok yaitu Tumbuhan (Kingdom Plantae), Hewan (Kingdom Animalia) dan Fungi (jamur).
ü  Sistem Empat Kingdom

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang struktur sel/susunan sel, maka para ahli meneliti tentang ada tidaknya inti sel mahkluk hidup, dimana sel yang memiliki membran inti disebut eukariotik dan sel yang tidak  mempunyai membran  inti  disebut  prokariotik.  Monera  tergolong mahkluk hidup yang prokariotik. Pengelompokan mahkluk hidup didasarkan pada ada tidaknya membran inti sel ini, sehingga monera dikelompokkan kedalam kingdom tersendiri. Pengelompokan mahkluk hidup menjadi empat kelompok yaitu Tumbuhan (Kingdom Plantae), Hewan (Kingdom Animalia), Fungi (jamur), dan Monera (bakteri).


ü  Sistem Lima Kingdom

Robert H. Wittaker pada tahun 1969 mengelompokkan mahkluk hidup menjadi  lima  kingdom  yaitu  Tumbuhan  (Kingdom  Plantae),  Hewan
           (Kingdo Animalia) Fung (jamur) Monera   (bakteri)   dan   Protista.
Pengelompokan ini berdasarkan pada susunan sel, cara makhluk hidup memenuhi makanannya dan tingkatan - tingkatan mahkluk hidup. Pengelompokan Makhluk Hidup
Whitaker (1969) mengelompokkan mahluk hidup ke dalam lima kerajaan/regnum:
1.  Kingdom Monera

Monera merupakan golongan organisme yang bersifat prokariotik (inti selnya tidak memiliki selaput inti). Kingdom ini dibagi menjadi dua golongan yaitu :

1.           Golongan bakteri (Schizophyta/Schizomycetes)

2.           Golongan ganggang biru (Cyanophyta)


2.  Kingdom Protista

Protista merupakan organisme yang bersifat eukariotik (inti selnya sudah memiliki  selaput  inti).  Pembentukan  regnum  ini  diusulkan  oleh  Ernst Haeckel atas pertimbangan adanya organise-organisme yagn memiliki ciri tumbuhan (berklorofil) sekaligus memiliki ciri hewan (dapat bergerak). Yang termasuk dalam kingdom ini adalah :

1.           Protozoa

2.           Ganggang bersel satu


3.  Kingdom Fungi (Jamur)

Fungi  merupakan  organisme  uniseluler  (bersel  satudan  multiseluler (bersel  banyak) yang  tidak  berklorofilfungi  multiseluler  dapat membentuk  benang-benanyang  disebut  hifa.  Seluruh  anggota dari regnum ini bersifat heterotrof. Kingdom ini dibagi menjadi beberapa divisi yaitu:

1.           Oomycotina

2.           Zygomycotina

3.           Ascomycotina

4.           Basidiomycotina

5.           Deuteromycotina
4.  Kingdom Plantae (Tumbuhan Hijau)

Meliputi organisme bersel banyak (multiseluler) dan sel-selnya mempunyai dinding sel. Hampir seluruh anggota berklorofil sehinga sifatnya autotrof. Yang termasuk dalam Kingdom Plantae adalah:

1.           Ganggang bersel banyak (diluar ganggang biru)

2.           Lumut (Bryophyta)

3.           Paku-pakuan (Pteridophyta)

4.           Tumbuhan Berbiji (Spermatophyta)


5.  Kingdom Animalia (Kerajaan Hewan)

Meliputi organisme bersel banyak, yang sel-selnya tidak berdinding sel dan tidak berklorofil sehingga bersifat heterotrof. Yang termasuk kingdom ini adalah filum:

1.           Porifera

2.           Coelenterata

3.           Platyhelminthes

4.           Nemathelminthes

5.           Annelida

6.           Echinodermata

7.           Arthropoda

8.           Chordata


Dari penjelasan sistem klasifikasi lima kingdom diatas dapat disimpulkan bahwa setiap kingdom mempunyai ciri-ciri utama yaitu sebagai berikut :

No
Kelompok Utama
Ciri Utama

1
Plantae
Eukariotik, multiseluler, melakukan fotosintesis
2
Animalia
Eukariotik, multiseluler, bersifat heterotrof
3
Fungi
Eukariotik,     multiseluler/uniseluler,     menyerap
zat


makanan dari lingkungan
4
Protista
Eukariotik, multiseluler/uniseluler, heterotrof/autotrof
5
Monera
Prokariotik, berukuran renik, uniseluler

d. Tujuan dan Manfaat Klasifikasi

1. Menyederhanakan  obyek  studi  makhluk  hidup  yang  sangat beranekaragam sehingga mudah untuk dipelajari
2. Pengelompokan  makhluk  hidup  untuk  menghasilkan  kelompok- kelompok takson
3. Persamaan  dan  perbedaan  ciri  suatu  makhluk  hidup  akan menentukan jenjang takson dan juga kekerabatannya
4.  Jenjang takson menunjukkan bahwa setiap kelompok kecil makhluk hidup dengan kesamaan ciri tertentu membentuk kelompok makhluk hidup yang lebih besar
5. Kelompok spesies membentuk genus, kelompok genus membentuk famili, kemudian terus membentuk ordo, kelas dan devisio
3. Kingdom Plantae

Dalam ekosistem terdapat salah satu komponennya yang berperan sebagai  penyedia  oksigen  yang  disebut  juga  dengan  produsen  ,  misalnya lumut yang dapat hidup hampir di semua tempat yaitu mulai dari kutub utara yang melintasi daerah tropis hingga daerah kutub selatan. Hal ini dikarenakan kingdom plantae mempunyai cirri-ciri umum yaitu :

v  Organism eukariot multiseluler

v  Mempunyai dinding sel yang tersusun selulosa

v  Mempunyai klorofil a dan b yang digunakan untuk fotosintesis

v  Mampu menyimpan karbohidrat berupa zat tepung

v  Embrionya dilindungi oleh jaringan tumbuhan parental


Seperti yang sudah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa kingdom plantae mempunyai anggota ± 500.000 spesies dimana dapat dibedakan berdasarkan pengelompokan menurut struktur tubuh yaitu :

a) Habitus tumbuh (tegak, menjalar dll)

b) Struktur organ tubuh (akar, batang dan daun)

c) Tipe ikatan pembuluh (konsentris, kolateral)

d) Keberadaan jaringan pengangkut

e) Kedudukan bentuk, ukuran dan tulang daun
f)  Alat reproduksi dan cara reproduksi

Berdasarkan alat perkembangbiakannya, kingdom plantae digolongkan menjadi dua yaitu :
v     Kormophyta berbiji (Spermatophyta)

v     Kormophyta berspora (Cryptogamae)


Tumbuhan tingkat rendah dikelompokkan menjadi beberapa Divisi, yaitu : Divisi Schizophyta (tumbuhan belah), Thallophyta (tumbuhan talus), Bryophyta (tumbuhan  lumut),  dan  Pteridophyta (tumbuhan  paku). Setiap  divisi terbagi beberapa anak divisi, kelas, bangsa, famili dan spesies.